Sunday, June 20, 2010

Cinta Dunia, Takut Mati


Sudah menjadi ketentuan Allah bahwasanya manusia akan melewati tahapan-tahapan dalam perjalanannya menuju Allah. Dari alam ruh kita dipindahkan ke alam rahim hinga akhirnya hiduplah orang-orang yang dilahirkan dalam keadaan hidup dan matilah bayi-bayi yang mati sebelum menghirup nafas di bumi ini. Ternyata kehidupan didunia ini pun tak berlangsung lama, hanya 60-70 tahun saja kemudian kita semua akan mati dan ruh kita berpindah ke alam barzakh (kubur) dan seterusnya untuk melangsungkan perjalanan selanjutnya menuju Allah, hingga kita sampai pada suatu hari yang Allah firmankan: Di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”(As-Syu’ara: 88-89)

Allah pun jauh-jauh hari telah memperingatkan kita dengan firmannya

“Adapun orang yang melampaui batas, Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggalnya”. (An-Nazi’at: 37-41)

Kita semua yakin bahwa alam akhirat itu ada, karena demikianlah ciri-ciri orang yang beriman yang Allah sebutkan dalam firmannya: Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat.” (Al-Baqarah: 4)
Dalam kehidupan dunia ini, kita dihadapkan pada berbagai macam cobaan termasuk diantaranya cobaan kenikmatan dunia. Memang suatu hal yang cukup manusiawi jika manusia memiliki kecenderungan atau rasa suka terhadap hal-hal duniawi. Allah berfirman: Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik surga.” (Ali-Imran: 14)
Namun kemudian Allah menegaskan bahwa semua kenikmatan tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kenikmatan di sisi-Nya, yaitu kenikmatan yang kekal abadi, bukan kenikmatan yang tak ubahnya seperti fatamorgana seperti kenikmatan dunia ini kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali-Imran: 85)

Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan Sesungguhnya akhirat Itulah negeri yang kekal.“(Al-Mukmin: 39)
Kenikmatan dunia itu beraneka ragam. Masing-masing mengandung nilai godaan dengan kapasitas yang berbeda-beda pula. Harta dan anak menempati posisi unggulan sebagai bagian duniawi yang demikian menggoda. Allah telah memperingatkan tentang goadaan tersebut delam firmannya: “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)
Begitulah dunia, tidak ada nilainya disisi Allah yang maha pencipta. Dan begitu pula seharusnya manusia memandangnya. Rasulullah bersabda,”Seandainya dunia ini disisi Allah hanya senilai sayap nyamuk, maka Allah tidak akan memberi orang kafir seteguk air sekalipun.(H.R Tirmidzi ia berkata hadits ini hasan ghorib)
Itulah sebabnya Allah melarang kita memandang kehidupan “manusia-manusia dunia” sedemikian takjubnya. Karena batas hidup mereka adalah kematian: “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. (Thoha: 131)
Ketika kita membicarakan orang-orang sholih maka buanglah jauh-jauh sikap menganggap suci diri sendiri, sehingga seolah-olah selalu saja kita merupakan bagian dari manusia-manusia sholih tersebut. Sebaliknya ketika membicarakan tentang peringatan mengapa hati kita selalu tertuju kepada orang lain seakan akan kita tak masuk kedalam orang yang diberi peringatan.

Indah sekali ucapan Abdullah Ibnu Mubarak

أحب الصالين ولست منهم وأرجو أن أنال منهم الشفاعة

وأكره من شجيته المعاصي ولو كنا سواء في البضاعة

Aku mencinta orang-orang yang shalih walau aku bukan termasuk dari mereka

Aku cintai mereka semoga aku memperoleh syafaat

Dan aku benci dengan orang yang selalu mengobral maksiat

Walau sebenarnya aku memiliki kebiasaan yang sama dengan mereka.

Mengetahui sikap mereka terhadap dunia amatlah perlu, agar kita sedikit memperbaiki sudut pandang kita yang sudah sangat kacau terhadap kehidupan dunia ini. Hal ini sangat perlu , karena ternyata saat kita kehilangan sedikit saja harta dunia, bagi kita sudah menjadi musibah yang kolosal layaknya. Kenapa saat kita gagal mempertahankan keuntungan yang rutin dalam usaha kita, kita anggap seakan sebuah malapetaka hebat. Ungkapan-ungkapan orang sholih tersebut paling tidak dapat menegur kita kalau-kalau ternyata kita sudah terlalu rakus terhadap dunia.
Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, Hasan Al-Bashri pernah berkata:”Aku pernah berjumpa dengan sekelompok orang yang tidak pernah merasa gembira dengan bagian dunia apa pun yang mereka peroleh, dan merekapun tidak pernah merasa sedih bila kehilangan sebagian dari bagian dunia mereka.”


Abdullah bin Umar juga menyatakan,” Sesungguhnya dunia adalah surga kaum kafir dan penjara bagi orang beriman. Ruh seorang mukmin yang dikeluarkan dari tubuhnya seperti orang yang baru keluar dari penjara, ia akan melayang gembira sesuka hatinya.”
Maka jadilah kita seperti orang asing atau musafir yang sama sekali tidak tinggal menetap, siang dan malam baginya adalah proses mengumpulkan perbekalan untuk pulang kekampung halaman, yaitu akhirat.
Jangan salah sangka, bahwa mengharapkan kebaikan akhirat berarti melupakan sama sekali kehidupan dunia. Bukan demikian konsep yang diinginkan Allah dan Rasulnya. Allah berfirman : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qoshosh: 77)
Aplikasi lugas dari konsep ini adalah ketika seorang muslim menjadikan dunia digenggamannya, ia menguasainya bukan sebaliknya dikuasai oleh dunia. Cukuplah dunia tersebut berada ditangannya tapi tidak pernah dia biarkan bersemayam dihatinya. Karena sesuatu yang kita pegang tentu akan mudah untuk kita lepaskan jika ia sudah membahayakan, sebaliknya sesuatu yang sudah merasuk kehati akan sulit untuk di angkat darinya. Sejarah telah mencatatat orang orang seperti ini. Lihatlah Abu Bakar, Umar -Radhiallahu’anhuma- Mereka sangat mudah menginfakkan setengah hartanya bahkan seluruh hartanya karena melihat ada keuntungan akhirat yang berlipat-lipat ketika mereka menginvestasikan harta mereka tersebut di jalan Allah. Lagi-lagi, mereka masih hidup didunia, mereka menguasainya, namun jiwa dan cita-cita mereka telah terbang melayang ke alam akhirat sehingga mereka menjadi orang-orang yang paling berbahagia.
Jika kita kaum muslim bersikap demikian sungguh kita akan kembali memimpin dunia dan diangkat dari kehinaan yang telah lama menimpa kita. Kita tidak lagi takut mati dan tidak lagi begitu tergila-gila dengan dunia. Bagaimana mungkin orang-orang kafir yang takut mati dan gila dunia itu dapat melawan orang-orang yang cita-citanya adalah kematian di jalan Allah demi kebahagiaan yang abadi di akhirat kelak. Saya tutup nasihat ini dengan sebuah hadits yang berisikan peringatan kepada kaum muslimin agar mereka tidak terjatuh dalam kehinaan yang sama.

Dari Tsauban ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Akan terjadi masa dimana umat-umat diluar islam berkumpul disamping kalian wahai umat islam. Sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang menyantap hidangan. Lalu seorang Sahabat bertanya: ‘Apakah kami pada saat itu sedikit wahai Rasulullah? “Beliau menjawab: “Tidak. Bahkan ketika itu jumlah kalian banyak. Akan tetapi kalian ketika itu bagaikan buih dilautan. Ketika itu Allah hilangkan dari musuh-musuh kalian rasa segan dan takut terhadap kalian dan kalian tertimpa penyakit wahn. Sahabat tadi bertanya lagi : ‘wahai Rasulullah apa yang baginda maksud dengan wahn itu? , Rasulullah menjawab: “cinta dunia dan takut mati. (H.R.Abu Dawud. Shohih lighairihi)

[ disarikan dari buletin at-Tauhid, ditulis oleh : Akh Ichsan Mufti ]

Tuesday, June 8, 2010

Lima Cara Memilih Sahabat




NASIHAT yang boleh diikuti dalam membina persahabatan ialah sebagaimana pesanan al-Qamah (seorang sahabat Rasulullah SAW) kepada anaknya:
Pertama
Pilihlah sahabat yang suka melindungi sahabatnya, dia adalah hiasan diri kita dan jika kita dalam kekurangan nafkah, dia suka mencukupi keperluan.
Kedua
Pilihlah seorang sahabat yang apabila engkau menghulurkan tangan untuk memberikan jasa baik atau bantuanmu, dia suka menerima dengan rasa terharu, jikalau ia melihat kebaikan yang ada pada dirimu, dia suka menghitung-hitungkan (menyebutnya).
Ketiga
Pilihlah seorang sahabat yang apabila engkau menghulurkan tangan untuk memberikan jasa baik atau bantuanmu, ia suka menerima dengan rasa terharu dan dianggap sangat berguna, dan jika ia mengetahui mengenai keburukkan dirimu ia suka menutupinya.
Keempat
Pilihlah sahabat yang jikalau engkau meminta sesuatu daripadanya, pasti ia memberi, jikalau engkau diam, dia mula menyapamu dulu dan jika ada sesuatu kesukaran dan kesedihan yang menimpa dirimu, dia suka membantu dan meringankanmu serta menghiburkanmu.
Kelima
Sahabat yang jikalau engkau berkata, ia suka membenarkan ucapan dan bukan selalu mempercayainya saja. Jikalau engkau mengemukakan sesuatu persoalan yang berat dia suka mengusahakannya dan jika engkau berselisih dengannya, dia suka mengalah untuk kepentinganmu.
Dalam memilih sahabat kita hendaklah memilih sahabat yang baik agar segala matlamat dan hasrat untuk memperjuangkan Islam dapat dilaksanakan bersama-sama sahabat yang mulia.


  1. Pilihlah rakan berakhlak mulia dan Taat kepada Allah SWT.
  2. Pilihlah rakan yang tidak mementingkan diri sendiri.
  3. Pilihlah rakan yang Ikhlas dalam semua perkara.
  4. Pilihlah rakan yang mahu membantu diwaktu senang dan susah.
  5. Pilihlah rakan yang rajin dan mahu diajak mengulangkaji pengajian.
  6. Pilihlah rakan yang suka memaafkan kesalahan.
  7. Pilihlah rakan yang bersifat rendah diri dan tidak sombong.
  8. Pilihlah rakan yang mengingatkan kita kepada Allah SWT dan perkara kebaikan.
  9. Hindarilah teman yang suka berdusta dan tidak jujur.
  10. Hindarilah teman yang malas dalam semua perkara.


Tuesday, June 1, 2010

Saling percaya dan jujur kunci bahagia

Saling percaya dan jujur kunci bahagia

Tidak semua pasangan mampu mencipta kebahagiaan untuk tempo yang lama.Baik yang bersahabat,berkawan atau pun dalam apa jua hubungan yang melibatkan manusia.

Ada yang hanya mampu mengekalkan hubungan untuk jangka masa singkat. Tidak kurang yang merana gara-gara tidak mampu menyelamatkan keadaan.malah dalam keadaan tertentupun kita adakalanya menghadapi situasi dimana kawan yang kita anggap mempercayai kita , sebenarnya tidak.


# Mempercayai apa yang dilihat dan didengar tanpa syak wasangka. Bagi anda, apa yang dibicarakan tidak perlu disangsi kerana ia ada kebenaran serta boleh mendatangkan kebaikan dalam perhubungan. Tapi berhati-hati kerana mungkin dengan cara ini si dia boleh 'menjerat' anda.

# Mengawal pasangan. Contohnya, si dia datang tepat pada waktu yang dijanjikan dan boleh menerima pendapat anda. Ini bermakna, anda boleh 'mengawal' dirinya daripada me lakukan perkara yang anda tidak gemari.

Apapun, ia tidak berarti anda boleh menyuruhnya tetapi jika si dia menuruti kehendak anda, ini bermakna si dia mempercayai anda dan tidak ragu-ragu dengan cara anda.

# Komitmen bukan sekadar menepati janji tetapi juga menghargai perjanjian yang dipersetujui bersama. Jika anda ataupun si dia berani memberikan komitmen dan ber sungguh-sungguh dalam perhubungan, tentu saja perhubungan ceria serta bahagia.

Sikap saling mempercayai yang wujud dalam diri masing-masing akan mewarnai lagi perhubungan anda berdua. Malah, ia akan membuatkan si dia lebih yakin dengan kejujuran anda padanya. Justru, tiada alasan untuk si dia berlaku curang.

# Kejujuran memang perlu untuk menjamin perhubungan yang bahagia. Anda tidak patut menyembunyikan perkara yang sepatutnya diketahui pasangan.

Jika anda dan si dia jujur, ini membuatkan anda berdua tidak takut berbahas kerana berpendapat ia untuk kebaikan bersama.

Walaupun ada kalanya tercetus pertengkaran kecil karena masing-masing ingin mengutarakan pendapat sendiri, akhirnya anda dan pasangan akan mengambil keputusan untuk memilih pendapat yang terbaik demi menjamin perhubungan yang stabil.

# Terima seadanya. Kunci keintiman dalam suatu perhubungan adalah menerima seadanya baik buruk pasangan.

Apabila hati sudah sayang, tentu saja anda sanggup menerimanya walaupun menyadari tentu ada perkara negatif mengenainya.

# Pengertian. Sebagian besar individu menginginkan pasangan yang tidak hanya mendengar pendapat sebelah pihak malah harus bijak mengutarakan pendapat sendiri.

Anda juga tentunya berharap si dia mengerti pandangan anda terhadap berbagai perkara. Jika tidak, mungkin perhubungan hanya mendatar saja.

Bukan itu saja, kemarahan juga boleh timbul disebabkan tidak memahami perasaan dan menganggap diri tidak di hargai.Malah jika kawan yang kita anggap sebagai kawan,rupanya tidak bagi kawan tadi. Malah tidak berterus terang dalam menyatakan sesuatu.

# Simpati adalah usaha untuk memberikan pengertian yang lebih mendalam tetapi tidak mudah untuk melakukannya.

Tetapi, apabila berjaya menimbulkan simpati, kebanyakan pasangan mampu mengatasi perkara yang boleh menim bulkan pertengkaran dan perselisihan pendapat.

# Rasa yakin membolehkan anda memberi pandangan bersama si dia sama ada dalam hal remeh-temeh hinggalah ke perkara yang serius.

Anda akan berasa si dia bukan saja mendengar malah akan menyimpan rahsia anda.

# Anda dan si dia memang tidak dapat lari daripada perbezaan pendapat. Mereka yang berusaha terlalu keras untuk menyangkal atau takut mengakui dirinya berbebas pendapat dengan pasangan lazimnya seorang yang tidak berani menghadapi kenyataan.

Tidak mungkin anda dan pasangan sentiasa sependapat sebaliknya, harus berkompromi untuk menunjukkan ke dewasaan masing-masing.

# Cinta sejati akan diwarnai oleh pengertian dan rasa untuk dimaafkan kerana dendam boleh menjadi punca kehancuran perhubungan.

Walaupun pernah dilukai, perasaan dendam ataupun mem balas balik perbuatan mungkin tidak akan terlintas di fikiran. Berdendam bukanlah jalan penyelesaian yang terbaik malah ia akan memburukkan lagi keadaan.

# Ketulusan dan kejujuran memainkan peranan penting dalam perhubungan, bukan saja dari segi perbuatan malah pertuturan.

Apa yang ingin disampaikan haruslah dengan niat sejujur mungkin dan bukanlah hanya untuk melindungi kesilapan.

WANYUE dan AMIRUL

PENGALAMANKU......................

Nota Khas:

Maka Mulanya.....

Sekolah sebagai sebuah 'learning organization' mempunyai tanggungjawab, misi dan visi serta matlamat dan halatuju, pada jangka panjangnya melahirkan manusia yang berilmu, berketrampilan, berkemahiran tinggi, bersahsiah unggul dan mulia, berkemahiran, menyelesaikan masalah, serta menyumbang kepada kesejahteraan komuniti dan negara di peringkat local atau pun global, perlukan seorang pemimpin pendidikan yang mampu melaksanakan tugas-tugas berat ini dengan penuh semangat dan daya juang yang tinggi tanpa mengira masa dan waktu.

Di sekolah Guru Besar dianggap seorang pemimpin kurikulum, pengurusan pejabat, hubungan manusia dan pembuat keputusan yang amat penting bagi menentukan kemajuan dan kecemerlangan anak didik dan organisasi sentiasa competent dan relevan dengan situasi dan isu-isu semasa. Sayangnya tidak ramai Guru Besar (yang saya temui) memiliki ciri-ciri dan personaliti dan watak yang diperlukan sebagai seorang pemimpin pendidikan yang berkesan di peringkat sekolah. Dari itu maka wujudlah keadaan di mana seolah-olah Guru Besar lemah dan tidak berkesan dalam banyak hal walaupun dalam aspek-aspek teras kepimpinan kurikulum. Jadi tidak hairanlah berlaku situasi di mana terdapat Guru Besar yang menunjukkan ciri-ciri kelemahan seperti berikut;

a) Tidak berani mengadakan Mesyuarat Guru kerana tidak berkeupayaan memberi penjelasan terhadap isu-isu sensitif yang ditimbulkan.

b) Tidak ada kebolehan memotivasikan guru-guru (termasuk kakitangan bukan guru) yang rendah prestasi, yang bermasalah, dan menjadi 'jelatang' kepada organisasi dan komuniti setempat.

c) Tidak ada misi dan visi atau wawasan, setiap orang bebas melakukan apa yang disukainya (salah faham kepada konsep demokrasi dan lassiez-faire).

d) Tidak mampu menggerak dan memastikan semua guru dan penolong-penolong kanan melakukan tugas masing-masing dengan cekap dan berkesan.

e) Tidak ada kebolehan membimbing semua guru dari segi tunjuk ajar, garispanduan, hierarki tugas, sistem dan prosedur yang patut diikuti semua.

f) Tidak tegas, tidak assertive, tidak konsisten, tidak telus dan tidak mematuhi keputusan yang telah diambil dalam sesuatu perkara yang telah dipersetujui.

g) Kebanyakannya mengamalkan konsep 'mengharap' tetapi tidak 'menggarap' supaya sesuatu perkara benar-benar dihayati dan diamalkan oleh setiap warga sekolah kepada satu tahap yang maksimum.

Setelah berkhidmat di tiga buah sekolah menengah dan empat buah sekolah rendah, saya cukup yakin dengan apa yang telah saya lihat, lalui dan alami, perbaiki dan perbetulkan serta yang saya fikirkan, bahawa seseorang Guru Besar tidaklah semudah seperti yang disangka oleh kebanyakan orang. Saya temui ramai Guru Besar yang 'bergaya' sebenarnya tidak 'berdaya', 'cakap tak serupa bikin', bernafsu besar dan bercita-cita tinggi tetapi sebenarnya 'tidak bertenaga', memanupulasi pengaruh dan kedudukan dan bukan sedikit pula yang 'lebihkan kerja luar' daripada memimpin guru-guru dan anak didik di sekolah.

Saya juga banyak menerima maklumbalas mengenai senario dan tingkah-laku yang tidak wajar berlaku di sekolah-sekolah terutama soal prinsip dan peraturan, soal allocated time dan enganged time yang sebenarnya dan sepatutnya menjadi prioriti pertama dan utama seseorang Guru Besar dalam aspek kepemimpinan kurikulum. Jadi apabila saya beralih menjadi Guru Besar sekolah rendah (sejak 1991) maka satu daripada 'pendekatan' yang saya gunakan ialah menyampaikan mesej tertentu berdasarkan situasi, tabiat, tingkah-laku, kepercayaan, world-view peribadi guru yang tidak kongruen dengan falsafah pendidikan dan aspirasi negara serta nilai-nilai murni seorang mukmin, dalam setiap mesyuarat bulanan guru melalui satu Nota Khas.

Tujuan utama saya ialah bagi menyedarkan semua guru saya bahawa menjadi guru bukan setakat masuk kelas mengajar (bagaimana pula yang tak masuk mengajar?) tetapi lebih daripada itu...yakni mengajar sebagai satu ibadah! Melalui nota khas ini saya menyentuh pelbagai aspek diri dan kehidupan seseorang guru bagi membuka minda dan mencetus inspirasi di samping mendorong mereka meningkatkan mutu pengajaran dan pembelajaran, mengubah paradigma dan stail berfikir serta mengubah tingkah-laku kepada tingkah-laku yang lebih matang, lebih positif, lebih inovatif, imaginatif, kreatif dan produktif. Guru-guru saya hendaklah faham bahawa apa jua yang saya sentuh dan kemukakan berdasarkan prinsip berikut:

1. Bukan kepada SIAPA betul tetapi kepada APA yang betul;

2. Perubahan bukan semata-mata kerana hendak berubah tetapi kepada

MENGAPA perlu berubah dan APA yang perlu diubah;

3. Mengutamakan dan meletakkan konsep KITA (teamwork) mengatasi

pemikiran AKU (egoistic and individualistic);

4. "Walk My Talk'...cakap serupa bikin bukan kata-kata rhetoric tanpa bukti

yang nyata terperi;

5. Menganggap apa jua penghalang sebagai satu 'challenge' yang perlu

ditangani secara objektif dan penuh profesionalisme serta penuh hikmah dan

bijaksana;

Kepimpinan berkesan bukan dasarkan kedudukan (position) atau pangkat (rank) tetapi apa yang kita boleh buat (competency), kebolehan membezakan antara emotional dan professional, antara individual dan organizational, antara illusi dan realiti.

Dengan nota-nota khas ini saya bukan setakat memenuhi 'agenda' mesyuarat yang biasa-biasa tetapi saya cuba memberi 'makna' dan 'kefahaman' yang mendalam kepada guru-guru saya bahawa 'memartabatkan profesion perguruan' bukan pada nama dan gelar sahaja tetapi terasnya terletak dan tersembunyi di dalam diri setiap orang yang mengaku dirinya guru; pemikiran (thinking styles), kepercayaan (beliefs), dan yang pentingnya sikap (attitude) kerana seperti kata-kata Zig Ziglar; " It's not your aptitude, but your attitude that determines your latitude in life."

Selain itu niat saya ialah untuk mewujudkan sebuah organisasi yang benar-benar mencerminkan situasi dan senario 'guru mengajar murid belajar' dalam ertikata yang semurni-murninya. Saya juga cuba menyedarkan guru-guru saya bahawa hukum sebab-akibat dan kaitannya dengan Hukum Ganjaran (Law of Compensation) yang berbunyi "Apa yang disemai, itulah yang dituai." Dalam konteks tugas-tugas pengajaran dan pembelajaran, guru-guru mesti sedar dan faham hukum-hukum ini. Jika tidak inilah apa jua kelemahan dan kemunduran yang kita temui hari ini adalah berpunca (akibatnya) dari bibit-bibit mediocrity dan berbagai jenis kebejatan yang telah berlaku dan bermaharajalela selama ini, dan kesannya kita terima dan tanggung hari ini. Sebagai pemimpin pendidikan, khasnya seseorang Guru Besar itu tidak boleh meletakkan kesalahan kepada orang-orang sebelumnya sahaja tetapi yang pentingnya bagaimanakah ia berusaha bagi mengatasinya dan seterusnya tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama. Dalam hal ini Guru Besar tidak mungkin dapat melakukannya seorang diri. Itulah sebabnya mengapa seluruh ahli organisasi sekolah perlu disedardirikan, dipulihsemangatkan, diberi 'tulang belakang' (empowerment) semula supaya masing-masing guru ini benar-benar faham setiap orang guru berpotensi menjadi guru-guru yang berkesan, berwibawa dan berketrampilan tidak kira di mana jua ia bertugas. Inilah matlamat saya. Saya percaya keadaan ini boleh dicapai.

Salah satu aspek yang sangat penting dan seharusnya dapat dilaksanakan oleh setiap Guru Besar ialah aspek 'menangani perubahan'. Mengubah 'budaya' sesebuah sekolah memerlukan keberanian, ketrampilan kepemimpinan, pengetahuan dan kepakaran pedagogi, perancangan strategik, kemahiran komunikasi interpersonal yang berkesan di samping mempunyai ilmu dan kemahiran dalam pengurusan manusia dan organisasi. Organisasi yang berkesan, berkembang dan maju adalah organisasi yang sentiasa melaku 'perubahan' secara berterusan dan bersifat 'all-out', melibatkan semua warga sekolah daripada pengurusan atasan hinggalah kepada kakitangan bawahan. Oleh itu seseorang pemimpin yang 'berusaha dan berjaya melakukan transformasi budaya organisasinya' adalah seorang 'Pemimpin Transformasional.'

Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mampu menjana kesedaran, mempertingkatkan minat, penerimaan misi dan tujuan organisasi, melihat melangkaui batas-batas kepentingan diri demi kepentingan orang-orang lain di kalangan para pengikutnya. Ciri-ciri seorang pemimpin transformasional adalah karisma, inspirasi, rangsangan intelektual dan pertimbangan bersifat individu.

Bob House mendefinisikan pemimpin karismatik sebagai; " Pemimpin karismatik adalah mereka yang digerakkan oleh perwatakan yang berkemampuan memberi kesan yang jelas dan luar biasa ke atas pengikut-pengikut." Menurut Conger dan Kaungo ada empat tahap bagi mencapai kepemimpinan kasrismatik iaitu;

1. Membina visi terhadap perubahan unggul.

2. Visi dikomunikasikan dan pengikut dimotivasikan.

3. Bina kepercayaan.

4. Tunjuk cara bagaimana mencapai visi.

Demikianlah betapa pentingnya seseorang Guru Besar itu perlu sentiasa menambahkan pengetahuannya supaya dapat membantunya membina visi sekolah dan kenapa perubahan perlu dilakukan. Visi tidak patut tinggal menjadi slogan semata-mata, ianya hendaklah dikomunikasikan dan diuar-uarkan dalam setiap kesempatan dan ruang supaya para pengikut yakni guru-guru dan anak didik kita sentiasa dimotivasikan. Kepercayaan terhadap diri peribadi dan kepemimpinan Guru Besar hanya akan tumbuh dan berkembang apabila kita dapat dan berjaya membuktikan semua tindakan yang diambil adalah betul, tepat, cepat, berkesan dan berhasil.

Sebagai seorang ketua pengurusan pendidikan di sekolah Guru Besar hendaklah berupaya menunjukkan kaedah dan cara, bagaimana mencapai visi sekolah dapat direalisasikan dengan menggunakan semua pengetahuan dan kemahiran yang ada, sumber dan prasarana yang tersedia di setiap sekolah dapat digunakan ke tahap paling optimum dan berkesan.

Setelah tiga puluh tiga tahun menjadi guru (dua puluh tiga tahun sebagai Pengetua dan Guru Besar) saya mempunyai keyakinan yang amat tinggi terhadap pendekatan yang saya gunakan dalam 'merobah' budaya sekolah-sekolah yang pernah saya tadbirkan dengan berpandukan tiga aspek yang pada hemat saya telah membuktikan apa yang saya lakukan sentiasa memberi hasil dan bukti yang amat menggalakkan. Tiga aspek yang saya maksudkan ialah pertama sikap, kedua disiplin, dan ketiga 'contoh teladan'.

Sikap adalah penentu gerak-laku setiap insan; penentu kepada tanggapan dan perlakuan individu dalam interaksinya setiap hari. Sikap yang positif akan melahirkan tingkah-laku yang positif, begitulah seterusnya dalam seluruh kehidupan seseorang itu sama ada dalam kehidupan peribadinya mahu pun dalam kehidupan kerjayanya. Disiplin adalah ciri amat penting yang mampu meletakkan seseorang itu sebagai orang yang berjaya atau sebaliknya. Orang yang berdisiplin kendiri yang tinggi tidak perlukan kawalan dari luar, ia mampu mengurus dirinya, terutama sekali mengurus kerjanya ke tahap yang paling tinggi dan berkualiti, peraturan dan undang-undang tidak pernah 'membebankan jiwa dan raga'. Sebagai Guru Besar, seseorang itu harus pula mampu menjadi 'suri teladan' kepada seluruh guru dan anak didiknya di sekolah. Yang paling penting seseorang Guru Besar mesti sentiasa mengamalkan 'Cakap Serupa Bikin' (Walk Your Talk).

Dalam menggerakkan warga organisasi di sekolah terutama guru-guru, Guru Besar hendaklah pula memiliki ciri 'assertiveness' yang berhemah supaya unsur-unsur kelemahan dari aspek masa, tenaga dan kewangan tidak mengheret organisasi kepada kegagalan melaksanakan semua tugas dan tanggungjawab yang telah diamanahkan. Dalam hal ini saya meletakkan kepentingan organisasi di atas kepentingan individu atau kumpulan. Kepada guru-guru saya jelaskan konsep ini sejelas-jelasnya iaitu organisasi sekolah hendaklah menjadi sebuah organisasi yang cemerlang dan gemilang. Organisasi yang cemerlang dan gemilang mestilah mempunyai akauntabiliti dan kredibiliti, yang pada akhirnya terletak di atas batu jemala orang yang bergelar Guru Besar. Prinsip yang saya pegang ialah " The first rule of leadership, everything is my fault."

Melalui prinsip ini saya 'tidak cepat menyalahkan guru-guru saya' di atas sebarang kelemahan dan kesalahan yang terjadi; saya fikirkan balik apakah tidak saya sendiri telah sama-sama 'bersalah' kerana tidak mengambil langkah-langkah perlu bagi mengatasi sebarang kemungkinan kegagalan sesuatu urusan atau program itu. Dalam aspek menjadi 'contoh teladan' ini saya lakukan perkara-perkara yang sangat biasa tetapi bagi kebanyakan orang (kalangan guru besar khasnya) menganggap apa yang saya buat sebagai tak perlu dan 'bodoh'. Saya datang awal pagi dengan tujuan guru-guru saya juga akan terdorong datang pagi dan bersedia untuk proses pengajaran dan pembelajaran dengan tenang dan teratur. Saya tulis Buku Rekod Mengajar saya dengan tujuan guru-guru saya tidak akan menanggap saya 'seperti ketam mengajar anaknya berjalan betul', dan saya masuk mengajar seperti guru-guru saya juga dengan tujuan saya diiktiraf bukan sahaja seorang Guru Besar (yang profesional) tetapi yang paling utama bagi saya, 'saya seorang guru'. Dalam aspek pengurusan masa saya pastikan semua aktiviti sekolah dijalankan tepat pada waktunya; loceng pertama sekolah disetkan berbunyi pada 7.30 pagi setiap hari; mesyuarat guru dan taklimat khas mingguan atau mesyuarat jawatankuasa kurikulum dimulakan tepat pada waktunya; pendeknya semua program dan aktiviti seperti yang ditetapkan di dalam Takwim Sekolah mestilah dipatuhi dan dilaksanakan sepenuhnya.

Menjadi teladan yang baik adalah salah satu 'ingredient' penting bagi seseorang Guru Besar itu dalam mendorong atau 'memotivasikan' guru-guru khasnya lebih-lebih lagi dalam senario atau budaya sekolah yang sudah sekian lama 'terbiar', dengan pelbagai unsur 'negaholic' yang merosak dan mencengkam sesebuah sekolah itu ke dalam kemelut dan konflik yang berlarutan malah menular sehingga begitu sukar untuk dipulihkan. Di sekolah-sekolah yang saya terajui sering terdapat sebilangan guru-guru yang sebenarnya bukan 'berjiwa guru' tetapi sekadar 'bekerja sebagai guru' sahaja; tidak ada wawasan apatah lagi sangat kurang menampilkan sifat-sifat guru yang 'profesional'; sentiasa meletakkan kelemahan prestasi akademik sekolah kepada pihak pelajar dan ibu bapa mereka sahaja seolah-olah pihak guru-guru dan kepimpinan sekolah sendiri 'bersih' daripada segala 'kebejatan profesionalisme'. Mengapa demikian sekali pola berfikir dan bertingkah-laku para 'pengamal pendidikan' ini? Mengapa sebahagian besar guru-guru dan kepemimpinan sesebuah sekolah itu tidak pernah rasa 'tersentuh' dan 'malu' dengan situasi ini? Mengapa ramai yang tidak merasa bertanggungjawab ke atas prestasi yang 'mundur' sampai bertahun-tahun dan berserah kepada 'nasib' semata-mata? Selaku Guru Besar perkara-perkara 'fundanmentals' melibatkan kualiti pengajaran dan pembelajaran terutamanya penguasaan kemahiran murid-murid Tahap Satu hendaklah dianggap sebagai satu 'mission impossible' yang mesti ditunaikan kepada tahap paling maksimum.

Siapakah orangnya yang paling layak dan paling berautoritatif dalam mempastikan semua aspek pencapaian dan pengurusan kemahiran-kemahiran berkaitan sebagaimana yang telah digariskan melalui Sukatan dan Huraian Sukatan Pelajaran dilaksanakan sepenuhnya, kalau bukan Guru Besar sendiri? Dalam hubungan ini saya sentiasa menekankan dan mengutamakan proses pengajaran dan pembelajaran dilaksanakan sepenuh jiwa dan raga, sepenuh daya dan tenaga. Guru-guru sering diingatkan bahawa 'masa tidak menanti kita' dan masa yang 'hilang' tidak mungkin dapat diganti. Hal ini juga berkait rapat dengan kesedaran dalaman yang tinggi terhadap apa yang sering di kalangan kita pandai menyebut 'kerja sebagai ibadah', tetapi sedikit sekali yang insaf dan sedar bahawa apa jua yang dilakukan sewaktu bertugas di sekolah malah kebanyakannya 'tidak menjadi amal soleh dan muslih' jauh sekali daripada menjadi 'ibadah'.

Akhirnya kalau boleh saya simpulkan, bahawa semua gerak dan diam kita selaku guru-guru dalam mendidik dan mengajar, menegur dan meneladan hendaklah mempunyai niat dan tujuan bagi mencapai maqam 'kerja kerana Allah s.w.t.'; kalau pun kita tidak dapat mencapai maqam sedemikian sekurang-kurangnya maqam yang paling rendah yakni 'kerja kerana kerja'. Mutu dan prestasi kerja kita insyaAllah akan meningkat dari satu tahap ke satu tahap yang lain jika kita sedia dan sentiasa memegang amanat junjungan besar nabi kita Muhammad s.a.w. melalui sabda baginda:

"Barangsiapa yang amalannya hari ini lebih baik dari semalam,

dialah orang yang beruntung.

Barangsiapa yang amalannya hari ini sama dengan yang semalam,

dia adalah orang yang rugi.

Dan barangsiapa yang amalannya hari ini lebih buruk dari hari semalam,

dia tergolong orang yang dilaknat Allah s.w.t."

Di antara untung dan rugi, manakah pilihan kita? Maka demikianlah mulanya...